Diary Seorang Anak
Ayah dan ibuku tercinta….
Sebelumnya mohon maaf karena anakmu ini mengungkapkan perasaan ini lewat tulisan karena mulut ini tak kuasa dan tak berani berkata-kata di depan ayah dan ibu. Izinkan aku mengucap rasa syukur dan kebahagiaan yang tak terhingga karena telah diberikan oleh Allah orang tua yang sangat mencintai dan menyayangiku. Izinkan pula aku menghaturkan terima kasih yang dalam atas segala upaya dan kasih sayang yang telah ayah dan ibu berikan, yang telah mendidik dan menjagaku. Ayah dan ibu telah berbuat yang terbaik untukku menjalani hidup ini, menjagaku siang dan malam agar aku tidak tergelincir ke jalan yang sesat, membimbingku agar tetap tegak berdiri berpegang teguh pada kebenaran dan nilai-nilai luhur, meluruskan akhlak dan budi pekertiku. Kalian telah memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya, dan itu semua aku terima dengan baik dan bahkan lebih dari cukup, terima kasih untuk itu semua.
Ayah dan ibuku tersayang, tidakkah kalian sadari bahwa aku adalah manusia biasa, manusia yang sepanjang hayatnya belajar dan belajar untuk menjadi insan yang kamil, insane yang diridhoi Allah SWT. Karena aku manusia biasa, maka tentu aku sering berbuat kesalahan, apakah itu salah wahai ayah dan ibuku? Bukankah kita tahu bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar? Tapi kenapa setiap aku berbuat salah, ayah langsung memarahiku tanpa bertanya kenapa aku berbuat demikian, padahal aku berbuat salah karena semata aku ini anakmu yang membutuhkan bimbingan dan arahanmu. Kenapa ibu begitu menggebu-gebu menghakimiku, padalah aku melihat ibu-ibu yang lain begitu lembut dan dari mulutnya meluncur kata-kata yang menyejukkan, bukan memojokkan.
Wahai ayahku yang budiman…
Masih segar dalam ingatanku dan sampai kini terpaan tanganmu di pipiku masih terasa. Mengapa engkau menggunakan tanganmu untuk member pengertian kepadaku. Mengapa hanya untuk menasihatiku harus terlebih dahulu menggunakan tanganmu. Mengapa engakau tidak bertanya lebih dulu, dan memberikan kesempatan untukku menjelaskan dan berbicara.
Ayahku yang baik…
Mengapa seolah untuk mendapat maaf darimu aku harus menerima tamparan di pipi, atau cacian yang pedas di telingaku. Terkadang engkau memberi nasihat kepadaku dilakukan di depan orang lain. Padahal tahukah ayahku yang baik, bahwa tatapanmu saja sudah begitu terasa menusuk dadaku, apalagi kau membicarakan kesalahan dan kejelekanku di depan orang lain, sangat menyakitkan.
Ayah…bukankah seorang ayah adalah pemimpin? Bukankah seorang ayah adalah imam? Tetapi ayah, aku jarang sekali mendapatkan ayah berlaku sebagai imam yang berdiri di shaf paling depan memimpin kami-kami bersujud kepada-NYA karena engkau selalu pulang malam. Engkau pernah mengatakan bahwa yang ayah lakukan adalah untuk membekali aku menuju masa depan, membiayaiku sekolah dan memberiku makan. Untuk itu aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga ayah. Tetapi ayah, aku merindukan di mana ayah berdiri sebagai imam dan membimbing akami menuju ridho-NYA. Ayah…aku pernah berkunjung ke rumah teman, dan ketika waktu shalat tiba, ayah temanku itu yang menjadi imamnya, temanku membaca iqamah, sedangkan ibunya berada di shaf belakang. Aku merasakan kedamaian ketika mereka semua berdoa bersama. Setelah shalat selesai, sang ayah menciumi kening anak-anaknya satu persatu begitu juga ibunya mencium rambut anaknya dengan diiringi doa yang meluncur indah sekali. Maaf ayah, bukan aku mau membandingkan ayah dengan orang tua yang lain sebagaimana yang sering ayah lakukan terhadap aku selama ini. Hanya saja aku ingin sekali merasakan apa yang dirasakan oleh temanku itu.
Ayahku yang bertanggung jawab…waktu itu anakmu ini tidak bermaksud lancang menanyakan asal-usul makanan, minuman, pakaian dan mainan yang engkau belikan buat aku, aku hanya ingin memastikan bahwa makanan yang aku makan adalah makanan yang halal. Minuman yang kau teguk benar-benar minuman yang menghilangkan dahaga keimananku, bukan minuman yang justru membuatku haus. Aku hanya ingin memastikan bahwa pakaian yang aku pakai adalah pakaian yang dapat dibanggakan dan melekat pada tubuhku dengan keyakinan bahwa itu semua memberiku kebaikan dan kesehatan, tidak hanya sehat fisik karena terlindung oleh pakaianku, tetapi juga sehat akal dan mentalku. Dan ayah, aku hanya ingin memastikan bahwa mainan yang aku mainkan adalah mainan yang benar-benar membahagiakanku bukan mainan yang membuatku dipenuhi tanda Tanya dan keraguan. Salahkah aku bertanya seperti itu padamu ayah? Waktu itu bukan jawaban yang aku terima, tetapi cacian, makian dan terpaan tanganmu yang sampai kini masih terasa dipipiku. Mungkin kalau yang di pipi sudah tidak terasa, tetapi di hati ini akan sangat sulit untuk melupakannya ayahku.
Waktu itu ayah mengatakan dengan sangat marah, “Anak kecil apa hah pake nanya halal apa haram? Yang penting makan, minum, dan pake saja! Ga usah macam-macam. Ingat aku ini ayahmu jadi jangan lancang seperti itu. Kalau kamu ga mau sudah buang saja sana!” Ayah, maaf jika aku memang lancang waktu itu. Sebenarnya yang aku harapkan waktu itu adalah ayah memberikan penjelasan, merangkulku dan meyakinkanku bahwa semua yang ayah dapatkan untuk menghidupi keluarga dan anak-anak diperoleh dengan jalan yang diridhoi Allah SWT. Sekali lagi mohon maaf jika anakmu berbuat lancang.
Ayahku yang cerdas, sungguh aku berharap besar darimu bahwa suatu hari nanti, ayah meluangkan waktu untuk sekedar bercengkerama denganku, atau sekadar menanyakan pelajaran apa yang dipelajari tadi siang di sekolah. Kemudian ayah membingku dan mendampingiku mengerjakan tugas-tugas sekolah. Tetapi ayah, harapan itu mungkin akan hanya tinggal harapan saja karena itu semua telah ayah limpahkan kepada guru les yang setiap hari datang ke rumah kita. Tetapi ketahuilah ayahku yang baik bahwa aku akan tetap mencintai dan menyayangi ayah dan masih berharap dapat merasakan cinta kasihmu padaku.
****
Sumber: "Hentikan Kebiasaan Berbahaya bagi Anak"...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar